Bapandung, seni tradisi tutur/lisan khas Banjar, sempat nyaris tenggelam dalam senyap. Namun semangat salah satu mahasiswi dari Politeknik Negeri Banjarmasin mampu menghembuskan napas baru ke dalam warisan budaya yang nyaris dilupakan itu. Dialah Nabila Ahya Syaffitri, yang berhasil meraih Juara 3 Pemuda Pelopor Kota Banjarmasin Tahun 2025 di bidang Seni Budaya, Jum’at (09/05/2025).
Capaian ini mendapat apresiasi dari pihak kampus. Ketua Jurusan Akuntansi, Nailiya Nikmah, menyampaikan dukungannya terhadap langkah inspiratif yang dilakukan Nabila.
“Saya selalu mendukung seluruh kegiatan mahasiswa yang positif, apalagi sampai menorehkan prestasi. Kali ini Nabila berhasil meraih Juara 3 Pemuda Pelopor Kota Banjarmasin 2025. Sebuah proses yang panjang dan tidak mudah. Selamat untuk Nabila, semoga selalu semangat dan sukses di masa depan,” ucapnya.
Nabila Ahya Syaffitri memulai langkah pelopornya dengan keresahan yang sederhana namun mendalam melihat generasi muda mulai melupakan jati dirinya.
“Bapandung itu identitas orang Banjar. Tapi sangat disayangkan, kesenian ini mulai pudar di kalangan masyarakat, terutama anak muda,” ungkap Nabila.
Keresahan itu ia suarakan dalam diskusi bersama ketua jurusannya dan sejumlah seniman Banjarmasin. Salah satu nama yang paling membekas baginya adalah Abdussukur MH, maestro pamandungan sekaligus pemain Mamanda yang dikenal luas oleh masyarakat Kalimantan Selatan. Sosok yang wafat pada 6 April 2022 ini menjadi kehilangan besar bagi dunia seni Banjar.
Sejak kepergian sang maestro, panggung Bapandung seolah kehilangan warna. Tidak banyak generasi baru yang tampil sebagai penerus. Dari situlah, Nabila memutuskan untuk bertindak. Ia pun membawa ide besar itu dalam Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) 2023 dengan tajuk “Bapandung”, yang berhasil lolos pendanaan tingkat nasional.
Kepeloporannya tak berhenti di situ. Ia kemudian mendaftar sebagai peserta ajang Pemuda Pelopor Kota Banjarmasin. Prosesnya tidak mudah. Ada beberapa tahapan seleksi mulai dari sosialisasi, pendaftaran online, pengumpulan dan seleksi berkas, fact finding, technical meeting, hingga presentasi di hadapan dewan juri di panggung semifinal dan grand final.
“Saat semifinal, saya diminta menampilkan langsung seni Bapandung di atas panggung. Itu jadi momen penting buat saya meyakinkan juri tentang keaslian dan dampak dari apa yang saya lakukan,” kenang Nabila.
Konsistensinya menghidupkan kembali seni tradisi tutur ini, serta dedikasi dalam membentuk ekosistem pelestariannya, membuatnya layak menyandang predikat pelopor. Tak hanya karena prestasinya, tapi juga karena langkah nyatanya: menjalin diskusi lanjutan, mengembangkan keterampilan Bapandung, serta menyebarkan e-book edukasi sebagai bahan pengenalan kepada masyarakat.
Bagi Nabila, jadi pelopor bukan tentang nama besar, tapi keberanian memulai.
“Kamu nggak harus nunggu lulus atau jadi ‘orang besar’ dulu buat mulai berkontribusi. Justru sekarang, waktu jadi mahasiswa, adalah momen terbaik buat belajar, coba hal baru, dan kasih dampak sekecil apa pun itu. Rasa ragu itu normal, tapi jangan sampai jadi alasan untuk nggak mulai. Dunia butuh anak muda yang peduli dan berani bergerak,” pesannya.
Dengan suara yang lantang dan langkah yang mantap, Nabila membuktikan bahwa warisan budaya tak harus punah asal ada satu saja anak muda yang bersedia menyuarakannya kembali.